The Critique of Pure Reason (Kritik Atas Akal Budi Murni ) Imanuel Kant
The Critique of Pure Reason (Kritik Atas Akal Budi Murni )
Imanuel Kant
Bagian Pertama
Akal
budi manusia dinyatakan dalam buku ini sebagai menjawab pertanyaan yang tidak
dapat ditolak dan pertanyaannya tidak dapat dijawab karena berada dalam luar pemikiran.
Namun meskipun banyak pertanyaan yang ada, tetapi akan tetap menghasilkan
pertanyaan-pertanyaan yang baru karena terdapat arena yang tak berujung yaitu
metafisika. Metafisika tentu jatuh kembali ke dalam konstitusi kuno dan dogmatisme yang telah membusuk dan
kembali menjengkelkan karena adanya penghinaan yang telah dilakukan untuk
mempertahankannya. Saat ini semua metode tersebut berdasarkan pada persuasi
umum yang telah berusaha namun sia-sia sehingga hanya kelelahan dan sikap acuh
tak acuh sebagai induk dari kekacauan dan kegelapan di dunia ilmiah, tetapi
pada saat yang sama merupakan sumber, atau setidaknya merupakan awal dari
penciptaan kembali dan instalasi ulang sebuah keilmuan. Ketika semuanya sudah
berubah menjadi kebingungan , ketidakjelasan dan kesia-siaan maka filsafat juga
sudah berada dan berjalan didalamnya.
Pada saat yang sama seperti sekarang
ini, ketidakpeduliaan ini, yang telah muncul di dunia sains dan yang
berhubungan dengan jenis pengetahuan yang telah dilihat untuk mendapatkan
perhatian dan pemikiran. hal ini jelas bukan efek dari kesembronoan, tetapi
merupakan pertimbangan yang matang terhadap zaman tersebut, yang lagi-lagi
menolak untuk menggunakan pengetahuan ilusi, karena pada kenyataannya, ia
merupakan panggilan akal budi, yang sekali lagi telah melakukan sesuatu yang
paling melelahkan dari semua tugas dan demi tegaknya kebenaran. Maka ini sesuai
dengan tugas filsafat untuk menghancurkan ilusi yang memiliki asal-usul mereka
dari kesalahpahaman, apapun harapan dan nilai yang diruntuhkan oleh
penjelasannya sendiri.
Bagian
Kedua
Jika
menemukan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan metafisika yang tidak dapat
memperoleh pemahaman tentang metode yang harus mereka ikuti, jika menemukan
mereka setelah melakukan persiapan yang rumit yang selalu dibawa kedalam sebuah
pendirian sebelum tujuan itu tercapai dan dipaksa untuk menelusuri kembali
langkah-langkah mereka dan menyerang ke jalur baru cukup yakin bahwa mereka
memperoleh kepastian dari kemajuan ilmu pengetahuan, dan mungkin lebih tepat
dikatakan hanya meraba-raba dalam gelap. Keberhasilan awal dalam logika harus
dikaitkan secara eksklusif dengan sempitnya lapangan ini, di mana abstarknya
mungkin atau lebih tepatnya harus berasal dari semua objek kognisi dengan
perbedaan karakteristik mereka, dimana pemahaman tersebut hanya berurusan
dengan dirinya dan bentuknya sendiri.
Akal
budi hanya dapat merasakan sesuatu yang dibuatnya setelah melakukan
rancangannya sendiri, sehingga hal itu tidak perlu diikuti, tetapi harus
melanjutkan terlebih dahulu berdasarkan prinsip-prinsip penilaian menurut hukum
sebangun dan memaksa alam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Akal budi harus
mendekati alam dengan pandangan dalam menerima informasi, namun bukan seperti
karakter seorang murid yang mendengarkan semua hal yang dipilih gurunya untuk
memberitahukan kepadanya, tapi sebagai seoranghakim yang memaksa para saksi
untuk membalas pertanyaan-pertanyaan yang dia sendiri merasa cocok untuk
diajukan. Setelah dapat penyayangkalan kekuatan akal budi spekulatif untuk
membuat kemajuan di bidang yang luar biasa, kita masih harus mempertimbangkan
apakah tidak ada data mengenai kognisi praktis yang dapat memungkinkan untuk
menentukan konsepsi transenden yang tidak bersyarat, untuk meningkat diluar
batas semua pengalaman yang bersifat mungkin dari sudut pandang praktis untuk
mencapai tujuan besar dalam metafisika.
Ni Actum Reputans , si pound
superesset agendum
Apakah jenis harta yang akan
diwariskan kepada generasi yang akan datang ? apakah nilai rill dari sistem
metafisika yang diumumkan dengan kritik, dan dengan demikian direduksi menjadi
sebuah kondisi permanen ? hal ini sekaligus mengasumsikan nilai positif ketika
kita mengamati bahwa prinsip-prinsip yang dengannya akal budi spekulatif
berusaha untuk melampaui batas-batasnya bukan dengan ekstensi, tetapi dengan
kontraksi untuk penggunaan akal budi, karena keduanya mengancam untuk
memperpanjang batas sensibilitas yang merupakan lingkup yang tepat atas seluruh
alam pikiran, dan dengan demikian menggantikan penggunaan akal budi murni. Hal ini seperti diletakkan pada pemahaman
bahwa ruang dan waktu hanyalah merupakan bentuk intuisi yang masuk akal, dan
karenanya kondisi keberadaan sebuah benda adalah sebagai fenomena, apalagi tidak
memiliki konsepsi tentang pemahaman, dan akibatnya tidak ada unsur kognisi
dalam berbagai hal, kecuali intuisi yang sesuai yang dapat diberilkan dalam
konsep ini sehingga dapat memiliki kognisi dari suatu objek, sebagai sesuatu
dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sebagai objek intuisi yang masuk akal yaitu
sebagai fenomena yang terbukti dibagian analisis dan kritik tersebut.
Quod mecum nescit, solus Vult scire
videri
Pada
saat yang sama mendapatkan gelar filsuf spekulatif menjadi satu-satunya deposan
ilmu yang menguntungkan masyarakat tanpa pengetahuan. Hanya dengan kritik saja
maka metafisika dan dengan demikian juga teologi bisa diselamatkan dari
kontroversi dan dari penyimpangan akibat dari doktrin mereka. Kritik saja bisa
menyerang pukulan pada akar materialism, fatalism, dan takhayul,yang secara
universal sangat merugikan serta idealism dan skeptisisme yang berbahaya bagi
mazhab-mazhab namun hampir dapat sampai kepada publik. Ilmu pengetahuan kritis
ini tidak bertentangan dengan prosedur dogmatis mengenal akal budi dalam
kognisi murni karena kognisi murni harus selalu bersifat dogmatis, yaitu harus
berada dalam batasan yang ketat dalam prinsip-prinsip apriori yang pasti,
tetapi untuk dogmatism, yaitu dengan anggapan bahwa sangat mungkin untuk membuat
kemajuan dengan kognisi murni, berasal dari konsepsi filsafat berdasarkan
prinsip-prinsip dimana akal budi telah lama terbiasa menggunakannya, tanpa
terlebih dahulu bertanya dalam hal apa dan dengan alasan apa ia muncul ke dalam
prinsip-prinsip ini. dogmatism dengan demikian merupakan prosedur dogmatis bagi
akal budi murni tanpa memerlukan kritik sebelumnya terhadap kekuatannya
sendiri, dan bertentangan dengan prosedur ini,sehingga tidak boleh meminjamkan
wajah siapapun untuk menunjukkan kedangkalan dalam merebut popularitas bagi
dirinya sendiri atau untuk menunjukkan skeptisme yang menciptakan karya pendek
dengan kandungan ilmu metafisika. Sebaliknya, kritik merupakan persiapan yang
harus diperlukan bagi sistem menyeluruh dalam metafisika ilmiah yang harus melakukan
tugas yang sama sekali apriori, demi kepuasan akal budi spekulatif dan karena
itu harus diperlukan secara tidak popular tapi secara skolastik.
Estetika Transendental
Awal
pengetahuan adalah sensibilitas. Artinya pengetahuan berawal dari proses
sensasi atau pengindraan. Supaya pengetahuan bisa dihasilkan, sensasi harus
dilokasikan dalam ruang (in space), jika pengetahuan tersebut dihasilkan
melalui indera eksternal. Sementara itu, sensasi dilokasikan dalam waktu (in
time) jika pengetahuan dihasilkan satu melampaui lainnya, tidak peduli dari
mana asal pengetahuan tersebut, bahkan ketika pengetahuan tersebut hanyalah
keadaan kesadaran yang sederhana, misalnya kenikmatan dan rasa sakit. Bagi
Kant, ruang dan waktu bukanlah realitas yang eksis dalam dirinya sendiri,
sebagaimana dipercaya Newton. Ruang dan waktu juga bukan realitas yang
dihasilkan oleh pengalaman, sebagaimana dipertahankan Aristoteles. Ruang dan
waktu lebih merupakan bentuk-bentuk a priori, Pengetahuan pada tingkat
pengindraan (intuisi murni) membawa dalam dirinya semacam kegentingan
(exigencies), bahwa setiap pengindraan (sensation) harus dilokasikan dalam
ruang, entah itu di atas, di bawah, di sebelah kiri atau kanan, dan dalam
waktu, yakni sebelumnya, sesudahnya, atau yang bersamaan dengan pengindraan
lainnya. Demikianlah, ruang dan waktu adalah kondisi-kondisi, bukanlah
eksistensi dari sesuatu tetapi posibilitas dari keberadaannya yang
termanifestasi di dalam diri kita. Singkatnya, ruang dan waktu adalah
bentuk-bentuk subjektif. Aritmatika dan geometri kemudian didasarkan pada ruang
dan waktu. Akibatnya, mereka didasarkan pada bentuk-bentuk subyektif, serta
aspek keseluruhan (universalitas) dan kondisi yang harus ada (necessity) yang
kita temukan di dalam mereka muncul atau dihasilkan dari bentuk-bentuk
subyektif ini. Dengan kata lain, aritmatika dan geometri adalah ilmu mutlak,
bukan karena mereka mewakili sebuah aspek universal dan keniscayaan dari dunia
fisik tetapi karena mereka adalah konstruksi apriori jiwa manusia dan menerima
darinya universalitas dan keniscayaan.
Analitik Transendental
Intuisi
murni tentang ruang dan waktu menyajikan kepada kita spektrum pengetahuan
(dalam epistemologi Kant digunakan istilah manifold, dimaksud sebagai “the
totality of discrete items of experience as presented to the mind; the
constituents of a sensory experience”), tetapi sebenarnya merupakan pengetahuan
yang tidak tertata. Jiwa manusia, yang cenderung ke arah penyatuan pengetahuan,
tidak bisa berhenti pada intuisi yang membingungkan ini. Roh atau jiwa manusia
selalu ingin bergerak maju ke pengetahuan pada tingkat yang lebih tinggi yang
berpusat di kecerdasan (intellect) dan yang kegiatannya adalah mengatur data
yang diinderai yang tersebar dalam ruang dan waktu. Aktivitas ini dimungkinkan
melalui bentuk-bentuk (forms) apriori atau atau kategori-kategori yang
dengannya intelek mendapatkan bentuknya. Bentuk-bentuk atau kategori-kategori
semacam ini berfungsi sebagai berikut:
•
Pada intuisi, misalnya, intuisi mengenai “pohon”. Saya punya data tertentu yang
diindrai (warna, daun, cabang, dll) yang eksis dalam ruang dan dalam perubahan
yang sifatnya temporal. • Intelek mengolah data-data ini (data-data pohon)
sesuai keadaan alamiahnya—yakni sesuai bentuk atau forma apriorinya—dan
menggunakan substansi untuk memantapkan atau menstabilkan data-data pengindraan
yang masih berubah-ubah ini. Pada gilirannya, substansi lalu menjadi salah satu
dari kategori intelek. Meskipun demikian, intelek tidak berdiam diri di dalam
substansi. • Proses ini akan terus berlanjut di mana data yang dikelola intelek
kemudian diletakkan dalam hubungannya dengan data yang mendahului “pohon” itu.
Intelek kemudian mengasosiasikan data-data tersebut dengan konsep kedua, yakni
“penyebab” (cause). Ini adalah kategori kedua, yang karenanya fenomena terikat
atau tergantung satu sama lain berkat bantuan suatu koneksi yang sifatnya
universal dan perlu. Hubungan atau koneksi ini terjadi sedemikian rupa sehingga
pada saat fenomena ada atau terjadi (penyebab), pada saat itu pula fenomena
lainnya (efek) harus terjadi, selalu dan di mana-mana. Ada 12 kategori intelek,
dan dibagi oleh Kant menjadi empat kelas, yakni kuantitas, kualitas, hubungan,
dan moda. Keduabelas kategori berfungsi sebagai kerangka acuan di mana
hukum-hukum mekanis alam bisa dipahami. Perlu dicatat bahwa unifikasi permanen
dari data yang diinderai ini hanya mungkin dengan syarat bahwa intelek
pemersatu (yang dimaksud adalah intelek) tetap identik dengan dirinya sendiri.
Jika intelek berubah-ubah di hadapan data yang diinderai, mustahil mencapai
suatu unifikasi permanen. Demikianlah universalitas dan objektivitas ilmu
pengetahuan menyiratkan keabadian intelek dalam identitasnya.
Komentar
Posting Komentar