Pengembangan Matematika Berbasis Budaya
Pengembangan Matematika Berbasis Budaya
(Pentingnya
Implementasi Pembelajaran Dengan Orientasi Kontekstual Berbasis Etnomatematika
Pada Budaya Batak Karo )
Oleh: Herlina Sari Br Sitepu
Budaya
dapat dijadikan sumber belajar matematika yang dikenal dengan istilah
etnomatematika. Permainan tradisional, bangunan adat, baju tradisional, makanan
tradisional dan alat musik tradisional khas Batak merupakan salah satu contoh
budaya yang dapat dijadikan sumber belajar matematika. Kita dapat menemukan
konsep geometri pada alat musik khas Batak berupa bangun datar dan bangun
ruang. Peneliti/pendidik/mahasiswa dapat
memanfaatkan bentuk-bentuk bangun datar dan bangun ruang yang ada pada alat
musik sebagai sumber belajar yang konkret dan inovatif, serta dapat membantu meningkatkan
proses berpikir siswa. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
Pendahuluan
Pembelajaran
matematika yang terjadi saat ini belum mampu membuat siswa mengembangkan
karakter dan melestarikan budaya Indonesia. Pembelajaran matematika yang
dilaksanakan masih monoton dan kurang bermakna, sehingga siswa hanya menghafal
konsep tersebut tanpa memahami cara mengaplikasikan konsep tersebut ke dalam
kehidupan sehari-hari (kontekstual). Masalah ini yang menjadi alasan penyebab
yang dihadapi oleh para siswa tingkat Pendidikan Dasar sampai ke jenjang
Perguruan Tinggi. Akibatnya, matematika sering dipandang sebagai pelajaran yang
sulit dan menyebabkan sebagian besar siswa kurang menyukai pelajaran ini. Salah
satu cara yang dapat ditempuh oleh guru untuk mempermudah mengajarkan konsep
matematika kepada siswa yaitu dengan mengimplementasikan pembelajaran dengan
orientasi kontekstual berbasis etnomatematika.
Pengembangan
Matematika Berbasis Budaya
(Pentingnya
Implementasi Pembelajaran Dengan Orientasi Kontekstual Berbasis Etnomatematika
Pada Budaya Batak Karo)
1.
Pengertian
Etnomatematika
Etnomatematika
merepresentasikan cara berbagai kelompok budaya melakukan matematisasi realitas
mereka sendiri karena mengkaji bagaimana ide-ide matematika dan praktek-praktek
matematika yang diproses dan digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini
digambarkan sebagai seni dan teknik yang dikembangkan oleh siswa dari latar
belakang budaya dan bahasa yang beragam. digunakan untuk menjelaskan, memahami,
dan mengelola sosial, budaya, lingkungan, lingkungan politik, dan ekonomi
(D'Ambrosio 2007). Ini memberi kita paradigma penelitian yang jauh lebih
luas daripada konsep tradisional matematika, etnisitas, dan multikulturalisme, di
mana etnis terkait dengan kelompok yang berbeda diidentifikasi
oleh tradisi budaya, kode, simbol, mitos, dan cara berpikir yang spesifik dan menyimpulkan. Program
ini berusaha mempelajari bagaimana semua peserta didik memahami, memahami, mengartikulasikan,
memproses, dan pada akhirnya menggunakan ide, konsep, prosedur, dan praktik
untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari. Konteks
holistik ini membantu siswa untuk merefleksikan, memahami, dan memahami hubungan
yang masih ada di antara semua komponen sistem. Etnomatematika ada di jantung
dari metodologi instruksional. Oleh karena itu, perlu mempersiapkan siswa-
bekerja di dunia yang beragam dan multikultural, dengan pengakuan atas
kontribusinya anggota kelompok budaya lain telah dibuat untuk matematika
(Shirley 2001) dan dengan apresiasi dan keterbukaan terhadap perspektif,
paradigma, dan pandangan dunia. Dalam hal ini, studi rinci tentang ide-ide
matematika dan praktek kelompok budaya yang berbeda pasti memungkinkan kita
untuk memajukan pemahaman kita berdiri dari logika internal dan ide-ide
matematika dari beragam kelompok siswa. Program ini menyadari beragam cara
untuk mengetahui dan melakukan matematika: ide, gagasan, prosedur, dan praktik yang
dikontekstualisasikan dalam lingkungan yang berbeda. Hal ini membuat perlunya mempertimbangkan penggunaan pengetahuan
matematika akademik di berbagai sektor masyarakat serta cara-cara dalam anggota
kelompok budaya yang berbeda menegosiasikan matematika mereka sendiri (D'
Ambrosio 2001).
Dalam hal ini,
etnomatematika merupakan metodologi untuk penelitian yang sedang berlangsung dan
analisis proses yang mentransmisikan, menyebarkan, dan melembagakan matematika pengetahuan
(gagasan, proses, dan praktik) yang berasal dari budaya yang beragam
konteks melalui
sejarah. Konteks ini memungkinkan pengembangan enam hal penting dimensi program
ethnomathematics: Kognitif, Konseptual, Pendidikan, Epistemologis, Historis,
dan Politik. Dimensi ini saling terkait dan bertujuan untuk menganalisis akar
sosiokultural pengetahuan matematika
(a) Kognitif
Dimensi ini menyangkut perolehan, akumulasi, dan penyebaran pengetahuan
matematika lintas generasi. Jadi, ide-ide matematika seperti perbandingan,
klasifikasi, kuantifikasi, pengukuran, penjelasan, generalisasition, pemodelan,
dan evaluasi dipahami sebagai sosial, budaya, dan fenomena logis yang memicu
pengembangan sistem pengetahuan yang dielaborasi oleh anggota kelompok budaya
yang berbeda. Dalam hal ini, tidak mungkin untuk mengevaluasi perkembangan
kemampuan kognitif selain sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, dan konteks
politik.
(b) Konseptual
Tantangan kehidupan sehari-hari memberi anggota kelompok budaya
yang berbeda kesempatan untuk menjawab pertanyaan eksistensial dengan
menciptakan prosedur, praktik, metode, dan teori berdasarkan representasi
realitas mereka. Tindakan ini merupakan dasar fundamental untuk
pengembangan pengetahuan esensial dan proses pengambilan
keputusan. Kelangsungan hidup tergantung pada perilaku langsung dalam
menanggapi rutinitas yang melekat pada perkembangan anggota
kelompok. Jadi, matematika pengetahuan matematis muncul sebagai respons
langsung terhadap kebutuhan untuk bertahan hidup dan transendensi.
(c) Pendidikan
Dimensi ini tidak menolak pengetahuan dan perilaku yang diperoleh
secara akademis, tetapi menggabungkan nilai-nilai kemanusiaan seperti rasa
hormat, toleransi, penerimaan, kepedulian, martabat, integritas, dan perdamaian
ke dalam pengajaran dan pembelajaran matematika untuk memanusiakannya dan
menghidupkannya. Dalam konteks ini, etnomatematika mempromosikan penguatan
pengetahuan akademik ketika siswa memahami matematika ide, prosedur, dan
praktik yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, “latihan” dan
presentasi matematika, secara kritis dan historis ... mungkin menolak kooptasi
dan cenderung digunakan untuk tujuan kemanusiaan dan bermartabat” (D'Ambrosio
2009, hal. 266). Ini adalah ide utama dari matematika tanpa - pembunuhan sebagai
diusulkan oleh D'Ambrosio dalam pencariannya akan perdamaian dan transendensi.
(d) Epistemologis
Dimensi ini berkaitan
dengan sistem pengetahuan, yang merupakan kumpulan observasi empiris. vations
dikembangkan untuk memahami, memahami, menjelaskan, dan menangani dan mengatasi
realitas. Dengan demikian, tiga pertanyaan muncul mengenai evolusi
matematika pengetahuan dalam kaitannya dengan beragam bentuk generasi,
organisasi, dan penyebaran bangsa: (a) bagaimana beralih dari pengamatan dan
praktik ad hoc ke eksperimen dan metode, (b) bagaimana beralih dari eksperimen
dan metode ke refleksi dan abstraksi, dan (c) bagaimana menuju penemuan dan teori. Pertanyaan memandu refleksi mengenai evolusi
ini dengan mempertimbangkan interaksi yang unik antara manusia dan realitas
mereka sendiri.
(e) Sejarah
Hal ini diperlukan untuk mempelajari hubungan antara sejarah
matematika dan realitas peserta didik. Dimensi ini membawa siswa ke
pemeriksaan sifat matematika dalam hal pemahaman tentang bagaimana pengetahuan
matematika itu dialokasikan dalam pengalaman individu dan kolektif
mereka. Dengan demikian, pengetahuan merupakan dibangun dari interpretasi
cara manusia telah menganalisis dan menjelaskan fenomena matematika sepanjang
sejarah. Inilah sebabnya mengapa perlu untuk mengajar matematika dalam
konteks sejarah sehingga siswa mampu memahami evolusi dan kontribusi yang
dibuat oleh orang lain untuk pembangunan yang sedang berlangsung terbukanya
pengetahuan matematika.
(f) Politik
Dimensi ini bertujuan
untuk mengenali dan menghormati sejarah, tradisi, dan matematika. Pemikiran
matematika yang dikembangkan oleh anggota kelompok budaya yang
berbeda. Itu pengakuan dan penghormatan terhadap akar sosiokultural para
anggota ini tidak berarti penolakan terhadap akar-akar orang lain ,
tetapi memperkuat akar-akar ini melalui dialog dalam dinamisme budaya. Hal
ini juga bertujuan untuk mengembangkan tindakan politik yang membimbing siswa
dalam proses transisi dari subordinasi ke otonomi untuk membimbing mereka
menuju perintah yang lebih luas dari hak-hak mereka sebagai warga negara[1].
Dimensi tersebut
menunjukkan bahwa program etnomatematika memiliki agenda yang menawarkan pandangan matematika yang lebih
luas yang mencakup ide, proses, metode, dan praktik yang terkait dengan
lingkungan budaya yang berbeda. Aspek ini menyebabkan peningkatan bukti
proses kognitif, kemampuan belajar, dan sikap yang dapat mengarahkan proses
pembelajaran yang terjadi di kelas kita. Selain itu, mencerminkan pada
dimensi program ini mengungkapkan bahwa aspek penting lainnya dari agendanya
adalah menawarkan perspektif penting untuk modernisasi yang dinamis dan
mengglobal masyarakat yang mengakui bahwa semua budaya dan semua orang
mengembangkan metode yang unik dan penjelasan yang memungkinkan mereka untuk memahami, bertindak, dan
mengubah realitas mereka sendiri.
Pada
dasarnya, etnomatematika merupakan pengkombinasian antara permainan tradisional
dengan konsep matematika. Dimana, tanpa disadari di dalam pengimplementasian
etnomatematika tersebut memiliki peran yang sangat besar dalam proses
pembelajaran[2]. Adapun peran
etnomatematika dalam proses pembelajara antara lain dapat menghitung,
menentukan lokasi, mengukur, mendesain, bermain, dan menerangkan”. Pembelajaran
dengan menggunakan berbagai hal yang ada di sekitar siswa dan sering dimainkan
(kontekstual) secara tidak langsung akan menciptakan pembelajaran yang bermakna
dan menyenangkan. Sehingga, tujuan pembelajaran yang diharapkan akan dengan
mudah tercapai. Sehingga, melalui konsep pembelajaran dengan orientasi
kontekstual berbasis etnomatematika dapat dijadikan sebagai alternatif dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan dalam mempelajari matematika. Hal ini
dikarenakan, selain siswa dapat mengenal dan melestarikan budaya, diharapkan
hasil belajar peserta didik juga optimal.
2.
Etnomatematika
dan kaitannya terhadap Permainan Tradisional dan Budaya Batak
Etnomatematika
menurut Safitri, Hartoyo dan Nursangaji (2015) “Etnomatematika digunakan untuk
menunjuk matematika yang terdapat dalam lingkungan masyarakat, berkaitan dengan
latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya suatu masyarakat”. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya, istilah etnomatematika dapat juga disamakan dengan
permainan tradisional yang di dalamnya terdapat konsep matematika. Menurut Ulya
(2017) “Permainan tradisional mempunyai nilai yang besar untuk generasi penerus
bangsa dalam rangka berkreasi, berimajinasi, dan media untuk berlatih hidup
bermasyarakat”[3]. Permainan
tradisional sudah ada sejak dahulu pada kelompok masyarakat yang diturunkan
dari nenek moyang bangsa Indonesia. Permainan tradisional menggunakan alat yang
murah, mudah diperoleh, sederhana, dan tidak menggunakan peralatan berbasis
teknologi. Anak-anak pada zaman sekarang banyak yang sudah tidak mengenal
permainan tradisional. Anak-anak lebih tertarik bermain gadget atau permainan
modern yang menggunakan peralatan yang canggih.
Tidak
hanya melalui permainan tradisonal. Salah satu budaya yang dapat dijadikan
sebagai sumber belajar matematika adalah alat musik tradisional khas Sumatera
utara. Di Provinsi Sumatra Utara banyak dijumpai suku dan etnis. Suku bangsa
batak yang terdiri dari etnis Pak-pak Dairi, Mandailing, Simalungun, Karo dan
Angkola pesisir Tapanuli Tengah. Setiap suku memiliki keunikan masing-masing
dan berbeda satu dengan yang lainnya. Namun pada kesempatan ini akan membahas
alat musik tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Batak Karo. Jenis alat musik
tradisional khas Batak Karo bermacam-macam dan memiliki bentuk dan ukuran yang
berbeda-beda. Ukuran dan bentuk pada alat musik tradisional khas Batak Karo
dapat dijadikan sumber belajar matematika.
Pembelajaran
dengan orientasi kontekstual berbasis etnomatematika pengimplementasian pembelajaran
matematika melalui pengkoneksian permainan tradisional (etnomatematika) yang
sering dimainkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) akan
memberikan pengalaman yang bermakna, menyenangkan serta menciptakan kesan
secara kompleks bagi siswa. Hal ini dikarenakan, terealisasinya konsep bermain
sambil belajar dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Idealnya, cara ini
tidak hanya mampu melatih dan mengembangkan dari segi knowledge siswa saja. Namun, skill, cara berpikir secara kritis dan
juga sikap (karakter) siswa juga akan terbentuk. Hal ini dikarenakan, di dalam
penerapan pembelajaran dengan orientasi kontekstual berbasis etnomatematika
menurut peneliti menjadi sebuah treatment
yang dapat ditempuh oleh guru untuk menjadikan konsep pembelajaran learning
by doing yang mengikutsertakan
seluruh panca indera di dalam proses belajar mengajar. Peneliti berasumsi,
dengan cara ini dapat mengubah konsep pembelajaran secara teacher center
menjadi student center.
Faktanya
yang terjadi sekarang ini yaitu kegiatan bermain anak dewasa ini beralih pada
permainan modern yang menggunakan perangkat teknologi seperti video games dan
games online. Oleh karena itu, guru memiliki peran penting dalam menerapkan
pembelajaran dengan menyisipkan permainan tradisional ke dalam pembelajaran
matematika (etnomatematika). Hal ini dikarenakan, bermain merupakan kegiatan
yang sangat diminati anak-anak. Dengan memperhatikan karakteristik peserta
didik yang seperti itu, guru harus mampu menciptakan strategi pembelajaran yang
tepat bagi peserta didik. Guru dapat memanfaatkan permainan tradisional agar
pembelajaran menjadi menyenangkan bagi peserta didik. Dengan memasukkan
permainan tradisional dalam proses pembelajaran diharapkan agar peserta didik
lebih termotivasi dan berminat dalam belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ulya (2017) “Melalui permainan tradisional tersebut, peserta didik mendapat
pengalaman langsung dalam situasi nyata untuk mempelajari suatu konsep
matematika. Sehingga, minat belajar dapat meningkat karena peserta didik merasa
senang dengan permainan yang diintegrasikan dalam pembelajaran matematika”[4]. Sehingga,
dalam kegiatan belajar mengajar guru dapat memanfaatkan permainan tradisional
sebagai media dalam pembelajaran. Media permainan tersebut hendaknya dapat bermanfaat
untuk memberikan variasi dalam pembelajaran. Hal ini bertujuan agar
pembelajaran tidak monoton sehingga membuat siswa bosan dalam belajar
matematika. Selain itu, media permainan dan alat musik tradisional dapat
membantu siswa memvisualisasikan benda-benda matematika yang abstrak menjadi
konkret. Melalui permainan dan alat musik tradisional, siswa diharapkan dapat
menemukan sendiri konsep atau pengetahuan dengan mengalami situasi yang nyata
kemudian dihubungkan dengan pengetahuan yang dimiliki untuk mendapatkan
pengetahuan baru.
Media
permainan tersebut hendaknya dapat bermanfaat untuk memberikan variasi dalam
pembelajaran. Hal ini bertujuan agar pembelajaran tidak monoton sehingga
membuat siswa bosan dalam belajar matematika. Selain itu, dapat membantu siswa
memvisualisasikan benda-benda matematika yang abstrak menjadi konkret. Melalui
hal ini siswa diharapkan dapat menemukan sendiri konsep atau pengetahuan dengan
mengalami situasi yang nyata kemudian dihubungkan dengan pengetahuan yang
dimiliki untuk mendapatkan pengetahuan baru. Jadi dengan permainan tradisional,
siswa diharapkan dapat mengoptimalkan hasil belajar matematikanya sekaligus
mempelajari budaya khususnya yang berada di daerahnya dan juga meningkatkan
nilai-nilai karakter dalam kehidupan seperti jujur dan berinteraksi dengan
oranglain. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwaningsih (2006) “Permainan
tradisional mengandung unsurunsur nilai budaya”. Lebih lanjut Dharmamulya (2008)
menjelaskan, “Unsur-unsur nilai budaya yang terkandung dalam permainan
tradisional adalah nilai kesenangan atau kegembiraan, nilai kebebasan, rasa
berteman, nilai demokrasi, nilai kepemimpinan, rasa tanggung jawab, nilai
kebersamaan dan saling membantu, nilai kepatuhan, melatih cakap dalam
berhitung, melatih kecakapan berpikir, nilai kejujuran dan sportivitas”[5]. Dengan
mengenal budaya yang ada di daerahnya, siswa dapat ikut menjaga dan
melestarikan budaya tersebut.
3.
Implementasi
Pembelajaran Dengan Orientasi Kontekstual Berbasis Etnomatematika Pada Budaya
Batak
Permainan
tradisional dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika serta
menumbuhkan dan meningkatkan nilai-nilai karakter pada siswa. Siswa tidak hanya
menghafal konsep tetapi mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga dapat
menerapkan konsep tersebut ke dalam permasalahan kehidupan sehari-hari. Sebagai
contoh permainan kelereng, congklak, batu serimbang dan lompat tali untuk
mengetahui konsep penjumlahan dan pengurangan. Serta permainan engklek untuk
konsep bangun datar. Pada pembelajaran matematika yang dapat dikaitkan dengan
alat musik tradisional didalam budaya Batak Karo dapat dilihat sebagai berikut:
1. Gong
Karo
Yang
membedakan gong ini dengan gong lain dilihat dari ukuran, bunyi dan cara
permainannya. Alat musik ini dimainkan dengna stik yang terbuat dari kayu yang
dibungkus kain atau karet. Gong dimainkan dengan ritme konstan dan
bersahut-sahutan.
Gambar
diatas adalah pemodelan secara geometri Pangora. Berdasarkan hasil analisis
bentuk pangora terdapat konsep geometri yaitu lingkaran. Lingkaran adalah garis
lengkung yang kedua ujungnya saling bertemu dan semua titik yang terdapat pada
garis lengkung mempunyai jarak yang sama terhadap titik pusat. Pada gambar di
atas, dapat disimpulkan bahwa lingkaran mempunyai sifat-sifat yaitu : lingkaran
tidak mempunyai sudut, lingkaran hanya mempunyai 1 sisi, mempunyai simetri
lipat dan simetri putar dengan jumlah yang tak terbatas dan jarak antara
titik-titik garis lengkung terhadap titik pusat mempunyai jarak sama. Titik O
disebut titik pusat, sedangkan titik A, B, dan C, yang mempunyai jarak sama ke
titik O disebut jari-jari (r).
2.
Sarune
Sarune adalah alat musik Batak Karo terbuat dari
bambu yang dilubangi di setiap ujungnya. Badan dari Sarune diberikan 5 lubang
dengan ukuran yang berbeda. Alat musik ini dimainkan dengan cara ditiup.
Berdasarkan
hasil analisis bentuk Sarune terdapat konsep geometri yaitu segitiga sama kaki.
Segitiga sama kaki adalah segitiga yang hanya mempunyai 2 sisi yang sama
panjang. Pada gambar diatas, dapat disimpulkan bahwa segitiga mempunyai
sifat-sifat yakni: 2 sisi yang sama panjang sebagai kaki segitiga (AC=AB),
mempunyai 2 sudut yang sama besar yaitu sudut yang berhadapan dan sama panjang,
mempunyai 1 sumbu simetri dan 3 simetri putar.
3. Garatung
Garatung
adalah alat musik Batak Karo yang terbuat dari kayu dengan lima bilah nada.
Biasanya pada permainan musik batak Garatung sebagai pembawa melodi dan pembawa
ritem variable pada lagu-lagu tertentu. Garatung dimanainkan dengan memukul 5
bilah nada yang disebut Mamalu. Garatung terdiri dari 7 wilahan yang berbentuk
seperti balok yang digantungkan di atas kotak. Alat musik ini dimainkan dengan
menggunakan stik kemudian dipukul. Stik pada tangan kiri sebagai pembawa ritme
dan pembawa melodi sedangkan stik pada tangan kanan memukul tangkai garating
dalam memainkan sebuah lagu.
Berdasarkan hasil bentuk dari Garatung terdapat konsep geometri yaitu persegi panjang. Pada gambar diatas, dapat disimpulkan bahwa persegi panjang mempunyai soifat-sifat yakni: persegi panjang mempunyai sisi yang berhadapa sama panjang, kedua diagonal sama panjang (OA=OB=OC=OD), keempat sudutnya siku siku (∠OA = ∠OB = ∠OC = ∠OD = 90°), persegi panjang mempunyai 2 buah simetri lipat dan 2 buah simetri putar. Hasil gambar yang didapat berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Natalia Sitanggang mengenai budaya batak yang erat kaitannya dengan etnomatematika[6]
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan etnomatematika dalam budaya lain yaitu dalam penelitian (Suripah, 2021) dengan penelitian “Etnomatematika: Eksplorasi Konsep-Konsep Matematika Pada Makanan Khas Melayu Riau” yang didapatkan yaitu Bolu Kemojo merupakan makanan khas dalam bentuk kue basah yang berasal dari Pekanbaru Riau. Bolu Kemojo mempunya delapan lekukan yang menyerupai bunga Kamboja. Jika diperhatikan, delapan lekukan yang membingkai bagian pinggirnya memiliki bentuk yang sama (sebangun) yang berbentuk segitiga. Selanjutnya, Kue Asidah merupakan salah satu dari beberapa makanan khas Riau yang cukup terkenal. Bentuk dari Kue Asidah juga dibuat dalam berbagai bentuk. Ada yang menyerupai daun dengan jumlah bilangan tertentu, dan ada pula yang berbentuk bulat dengan bagian permukaan datar menyerupai lingkaran yang memiliki titik pusat di bagian lubang tengah dan memiliki jarak [7] dan jenis kue tradisional lainnya yang sangat membantu dalam pengenalan pembelajaran matematika.
Penelitian yang berhubungan dengan
etnomatematika yaitu dalam penelitian (Susi,2021) dengan judul “Etnomatematika:
Eksplorasi Konsep Geometri Pada Ornamen Rumah Bolon Batak Toba” dihasilkan
bahwa bahwa ornamen Rumah Bolon Batak Toba terkait dengan konsep geometri yaitu
1. gorga Dalihan natolu (segitiga) 2. gorga Jenggar (segitiga sama sisi),3.
gorga Ulu Paung (Segi lima), 4. gorga Simarogungogung (lingkaran), 5. gorga
Desa Na Ualu (lingkaran dan persegi), 6. gorga Adop- adop (lingkaran), 7. gorga
Simata Niari (lingkaran).8. gorga Singa-singa (kerucut), 9. gorga Ipon-ipon
(persegi panjang), 10. gorga Gaja Dompak (persegi panjang) [8]. Hal ini juga
termasuk unsur dari budaya pengenalan dari rumah batak toba yang dapat
dijadikan referensi dalam pembelajaran matematika.
Tidak hanya melalui bangunan dan jenis makanan.
Etnomatematika juga dapat dilihat melalui dunia fashion yaitu kebaya dalam
penelitian (Maryati,2018) dengan judul “Etnomatematik: Menjelajah kegiatan
perangan kebaya Kartini” dijelaskan bahwa ketika kita mempelajari Ethnomathematics, bukan
berarti kita hanya memeriksa fenomena matematika dan menerjemahkannya ke dalam bentuk
formal konsep matematika (matematika modelling). Namun, lebih dari itu, cara
berpikir dan nilai-nilai yang mendasari mengapa individu atau kelompok dapat
memiliki pemahaman seperti itu juga menarik untuk dipelajari. Etnomatematika
memiliki sumber kegiatan yang dilakukan seseorang/kelompok dan pengetahuan yang
mereka peroleh dari kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Ini mengasumsikan
berbagi dinamis antara kegiatan dan pengetahuan; menghargai produksi
pengetahuan populer; dan mengusulkan pendidikan sebagai proses di mana
pengetahuan ditransmisikan lintas generasi. Dalam perancangan Kebaya Kartini untuk
mengaplikasikan konsep-konsep matematika meliputi operasi bilangan, bidang,
garis, dan sudut. Untuk membuat Kebaya Pola Kartini ,
perlu keterampilan menggambar dan keterampilan menghitung. Keterampilan
menggambar dibutuhkan saat menggambar sudut untuk mulai menggambar pola. Menghitung
keterampilan yang dibutuhkan saat menghitung ukuran pola Kebaya
Kartini . Itu Hasil ini didukung oleh beberapa penelitian yang
menyatakan bahwa budaya sebagai konteks akan menjadi hal penting dalam proses
pembelajaran. Kegiatan etnomatematika pada perancangan Kebaya
Kartini sangat beragam. Prosesnya
dimulai dari menggambar sudut, mengukur, dan menghitung ukuran pola dengan konsep operasi bilangan
bulat. Budaya adalah sangat penting
ditanamkan pada siswa sejak dini. Belajar matematika berdasarkan budaya dapat menjadi solusi untuk memperkenalkan budaya dan
pembelajaran matematika. Hasil penelitian menunjukkan dalam pembuatan pola
kebaya menggunakan konsep matematika, seperti operasi bilangan, bidang, garis,
dan sudut [9].
`Pentingnya
etnomatematika dalam pembelajaran matematika dikarenakan pembelajaran dengan
orientasi kontekstual berbasis etnomatematika sangat penting diterapkan dalam
proses belajar mengajar terutama dalam mempelajari matematika. Selain
menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna. Implementasi pembelajaran
seperti ini secara tidak langsung mempermudah siswa dalam mempelajari konsep
matematika. Maka bentuk pengembangannya juga banyak dilakukan salah satunya
dalam (Marsigit,2014) dengan judul artikel “Pengembangan Pembelajaran
Matematika Berbasis Etnomatematika” [10] didapatlah
bahwa bentuk dari pengembangannya Tes pemahaman konsep dilakukan setelah
pembelajaran matematika dengan pendekatan problem solving berbasis
etnomatematika. Diperoleh data bahwa lebih dari (>) 75% siswa di kelas uji
coba memperoleh nilai (skor) tes lebih besar dari KKM. Dengan demikian,
pembelajaran matematika dengan pendekatan problem solving yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berbasis etnomatematika konteks candi Borobudur
dapat memfasilitasi pemahaman konsep matematika siswa pada materi kedudukan dua
garis. Hal ini dapat dijadikan acuan bahwa etnomatematika dapat berhubungan
erat dari berbagai budaya lainnya,
seperti, makanan tradisional, alat musik dan rumah adat tradisional.
Bangunan lainnya juga dapat dilihat apabila memiliki keterkaitan yang mendukung
dari pembelajaran matematika.
Komentar
Posting Komentar